Tuesday 6 November 2007

Merintis Sekolah Internasional

MUTU PENDIDIKAN
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/05/humaniora/3971055.htm
MERINTIS SEKOLAH INTERNASIONAL
Sumber: Kompas, Senin 5 Nopember 2007 Hal 13
Ditulis oleh: Wahono – Mantan Kepala Sekolah Indonesian International School Yangoon

Akhir Agustus 2007, penulis ditugasi sebagai pendahulu atau advance kunjungan Mendiknas ke Myanmar. Kunjungan tersebut terkait dengan kapasitas beliau sebagai Presiden Southeast Asian Ministers of Education Organization atau SEAMEO. Dalam kunjungan tersebut, Mendiknas mengunjungi Indonesian International School Yangon, sekolah Indonesia yang sebagian besar siswanya berasal dari berbagai negara.

Dalam sambutan singkatnya, Mendiknas mengharapkan Sekolah Internasional Indonesia Yangon (Indonesian International School Yangon/IISY) dapat dijadikan model sekolah internasional berkarakteristik Indonesia.

Sebagai mantan kepala sekolah IISY, penulis merasa bangga dan sekaligus khawatir. Bangga karena hasil kerja kami (penulis, kepala sekolah baru, dan guru-guru) dihargai, tetapi sekaligus khawatir karena harapan Mendiknas terlalu berat. Menanggapi tantangan Mendiknas itu, kepala sekolah dan penulis bersepakat mewujudkannya, tentunya dengan porsi kerja berbeda. Kepala sekolah yang baru melanjutkan program yang telah dirintis, sementara penulis sebagai konsultan.

Secara ringkas, uraian berikut menjelaskan pengalaman penulis selama mengelola sekolah Indonesia di negara junta tersebut.

Jumlah minimal
Pada awal tahun 2003, IISY memiliki siswa sebanyak 17 (dari SD sampai SMA) dengan delapan guru. Oleh karena jumlah siswa hanya berada pada batas ambang minimal 15, ada kekhawatiran sekolah ini akan ditutup. Sebagai jalan keluar, Duta Besar menyarankan seluruh staf kedutaan membawa keluarga mereka untuk bersekolah di IISY sehingga jumlah siswa berkembang menjadi 23 anak.

Melihat jumlah siswa dan guru yang sangat kecil, penulis merasakan bukan mengelola sebuah sekolah, tetapi sebuah lembaga kursus kecil yang diberi label sekolah. Memang, kondisi semacam ini terjadi pula di sebagian besar sekolah Indonesia di negara lain. Hidup matinya sekolah Indonesia sangat bergantung pada jumlah WNI di negara akreditasi.

Dengan alasan peningkatan citra pendidikan Indonesia di dunia Internasional, penulis mengusulkan kepada Duta besar untuk menerapkan kurikulum Indonesia Plus (Indonesia + Cambridge IGCSE untuk O’level/belum A’level). Konsekuensinya, siswa yang ingin bersekolah di luar Indonesia diharuskan mengikuti ujian nasional dan Cambridge IGCSE. Pemilihan IGCSE didasarkan pada tuntutan pasar. Rata-rata orang kaya di Myanmar menyekolahkan anak-anaknya ke Singapura dan Inggris. Dengan demikian, mereka memilih sistem Cambridge daripada IB, VCE, atau sistem Amerika.

Langkah ini diambil dengan harapan dapat meningkatkan mutu sekolah Indonesia. Dampak positifnya, masyarakat lokal dan asing tertarik bersekolah di IISY.

Masuknya siswa asing memiliki berbagai keuntungan. Pertama, bahasa Indonesia, studi Indonesia, dan seni budaya Indonesia dipelajari oleh orang asing. Kedua, kemampuan bahasa Inggris guru dan siswa berkembang pesat karena bahasa tersebut dijadikan bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar. Hal positif lain adalah bertambahnya jumlah siswa sehingga IISY layak dinamakan sekolah.

Menggapai usulan (saat itu mimpi) tersebut, berbagai upaya dilaksanakan oleh sekolah dengan dukungan kedutaan, antara lain menentukan benchmarking, menentukan skala prioritas, dan melaksanakan tahapan-tahapan program. Sekolah memilih Hebron International School (Utty, India) sebagai patok duga (benchmarking). Alasannya, sekolah ini dikelola dengan prinsip memanusiakan manusia tanpa harus memoles wajah sekolah dengan berbagai aksesori yang berlebihan. Prestasi akademis dan non-akademis Hebron sangat tinggi. Hasil ujian IGCSE O’level dan A’level setiap semester per tahunnya selalu masuk 10 besar dunia.

Selanjutnya, langkah-langkah awal yang diambil adalah merekrut penutur bahasa Inggris selaku bahasa ibu, melakukan kerja sama dengan Cambridge University Board melalui British Council, studi banding, melakukan pelatihan bahasa Inggris untuk para guru, melakukan promosi, dan melengkapi fasilitas sekolah sesuai tuntutan program. Langkah ini diambil secara bertahap dengan memerhatikan skala prioritas.

Langkah maju
Hal menarik yang dilakukan oleh sekolah dalam menangani hal di atas adalah mengubah pola guru multisubyek dan multilevel menjadi guru multilevel saja. Risikonya, sekolah harus memiliki guru dengan jumlah ideal sesuai mata pelajaran yang diampu. Selain itu, guru dituntut memiliki kemampuan bahasa Inggris yang memadai.

Melalui tahapan perencanaan yang disepakati, program berjalan meskipun berat dan dengan langkah tertatih-tatih. Hasilnya, pada tahun 2004 jumlah siswa meningkat menjadi 56, pada tahun 2005 jumlah siswa meningkat menjadi 98, pada tahun 2006 jumlah siswa meningkat menjadi 158, dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 189. Komposisi siswa Indonesia dibandingkan dengan siswa lokal dan asing adalah 12,5 persen berbanding 87,5 persen.
Jumlah guru juga ditambah menjadi 28 orang, terdiri atas 7 guru dari Indonesia, 4 penutur bahasa Inggris selaku bahasa ibu, dan 17 guru lokal yang pernah mengajar di sekolah internasional.

Peluang dan tantangan
Berdasarkan komposisi jumlah siswa di atas, tampak bahwa kehadiran IISY diperlukan masyarakat lokal dan warga asing (khususnya dari kedutaan lain) di Myanmar. Untuk itu, IISY mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai salah satu sekolah internasional sesuai harapan Mendiknas. Sebagai informasi, sekolah internasional yang telah ada di Yangon adalah: Yangon International School (berbasis Amerika), Horizon International School (sekolah Turki), Pakistani School, Garden International School, dan Diplomatic School.

Jika IISY dikembangkan menjadi sekolah internasional berkarakter Indonesia, keberadaannya akan memiliki keuntungan dalam hal promosi budaya, politis, ekonomi, dan perekat kerja sama antarnegara. Keberadaan sekolah ini juga diharapkan memberikan stimulus terhadap sekolah-sekolah Indonesia untuk berkembang.

Menyamakan persepsi
Konsep rintisan sekolah berstandar Internasional yang penulis kembangkan itu memang dalam tahap perjalanan, tetapi memiliki kejelasan arah. Artinya, sekolah berusaha memfasilitasi kebutuhan pasar (siswa) dan pemerintah tanpa mengorbankan tuntutan keindonesiaan.
Penulis yakin bahwa beberapa institusi pendidikan yang berada di Indonesia telah melakukan hal yang sama atau lebih. Meskipun begitu, masih banyak sekolah yang berlabel RSBI, tetapi tidak paham konsep sekolah internasional.

Penulis terkejut membaca beberapa tulisan di internet terkait dengan RSBI. Ternyata banyak kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah menerjemahkan konsep RSBI secara berbeda.
Beberapa mengatakan bahwa RSBI berarti menggunakan bahasa Inggris dalam KBM, memiliki fasilitas tertentu, dan ada yang menerjemahkan yang terpenting warga sekolah memiliki wawasan internasional. Lebih ekstrem lagi, sekolah harus memiliki mitra di luar negeri.

Melihat keberagaman persepsi tentang RSBI itu, penulis tergerak menyampaikan pengalaman ini. Semoga berguna sehingga uang miliaran yang dialokasikan untuk kegiatan ini tidak sia-sia.

WAHONO, Mantan Kepala Sekolah Indonesian International School Yangon (2003-2006)

No comments: