Tuesday 6 November 2007

Merintis Sekolah Internasional

MUTU PENDIDIKAN
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/05/humaniora/3971055.htm
MERINTIS SEKOLAH INTERNASIONAL
Sumber: Kompas, Senin 5 Nopember 2007 Hal 13
Ditulis oleh: Wahono – Mantan Kepala Sekolah Indonesian International School Yangoon

Akhir Agustus 2007, penulis ditugasi sebagai pendahulu atau advance kunjungan Mendiknas ke Myanmar. Kunjungan tersebut terkait dengan kapasitas beliau sebagai Presiden Southeast Asian Ministers of Education Organization atau SEAMEO. Dalam kunjungan tersebut, Mendiknas mengunjungi Indonesian International School Yangon, sekolah Indonesia yang sebagian besar siswanya berasal dari berbagai negara.

Dalam sambutan singkatnya, Mendiknas mengharapkan Sekolah Internasional Indonesia Yangon (Indonesian International School Yangon/IISY) dapat dijadikan model sekolah internasional berkarakteristik Indonesia.

Sebagai mantan kepala sekolah IISY, penulis merasa bangga dan sekaligus khawatir. Bangga karena hasil kerja kami (penulis, kepala sekolah baru, dan guru-guru) dihargai, tetapi sekaligus khawatir karena harapan Mendiknas terlalu berat. Menanggapi tantangan Mendiknas itu, kepala sekolah dan penulis bersepakat mewujudkannya, tentunya dengan porsi kerja berbeda. Kepala sekolah yang baru melanjutkan program yang telah dirintis, sementara penulis sebagai konsultan.

Secara ringkas, uraian berikut menjelaskan pengalaman penulis selama mengelola sekolah Indonesia di negara junta tersebut.

Jumlah minimal
Pada awal tahun 2003, IISY memiliki siswa sebanyak 17 (dari SD sampai SMA) dengan delapan guru. Oleh karena jumlah siswa hanya berada pada batas ambang minimal 15, ada kekhawatiran sekolah ini akan ditutup. Sebagai jalan keluar, Duta Besar menyarankan seluruh staf kedutaan membawa keluarga mereka untuk bersekolah di IISY sehingga jumlah siswa berkembang menjadi 23 anak.

Melihat jumlah siswa dan guru yang sangat kecil, penulis merasakan bukan mengelola sebuah sekolah, tetapi sebuah lembaga kursus kecil yang diberi label sekolah. Memang, kondisi semacam ini terjadi pula di sebagian besar sekolah Indonesia di negara lain. Hidup matinya sekolah Indonesia sangat bergantung pada jumlah WNI di negara akreditasi.

Dengan alasan peningkatan citra pendidikan Indonesia di dunia Internasional, penulis mengusulkan kepada Duta besar untuk menerapkan kurikulum Indonesia Plus (Indonesia + Cambridge IGCSE untuk O’level/belum A’level). Konsekuensinya, siswa yang ingin bersekolah di luar Indonesia diharuskan mengikuti ujian nasional dan Cambridge IGCSE. Pemilihan IGCSE didasarkan pada tuntutan pasar. Rata-rata orang kaya di Myanmar menyekolahkan anak-anaknya ke Singapura dan Inggris. Dengan demikian, mereka memilih sistem Cambridge daripada IB, VCE, atau sistem Amerika.

Langkah ini diambil dengan harapan dapat meningkatkan mutu sekolah Indonesia. Dampak positifnya, masyarakat lokal dan asing tertarik bersekolah di IISY.

Masuknya siswa asing memiliki berbagai keuntungan. Pertama, bahasa Indonesia, studi Indonesia, dan seni budaya Indonesia dipelajari oleh orang asing. Kedua, kemampuan bahasa Inggris guru dan siswa berkembang pesat karena bahasa tersebut dijadikan bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar. Hal positif lain adalah bertambahnya jumlah siswa sehingga IISY layak dinamakan sekolah.

Menggapai usulan (saat itu mimpi) tersebut, berbagai upaya dilaksanakan oleh sekolah dengan dukungan kedutaan, antara lain menentukan benchmarking, menentukan skala prioritas, dan melaksanakan tahapan-tahapan program. Sekolah memilih Hebron International School (Utty, India) sebagai patok duga (benchmarking). Alasannya, sekolah ini dikelola dengan prinsip memanusiakan manusia tanpa harus memoles wajah sekolah dengan berbagai aksesori yang berlebihan. Prestasi akademis dan non-akademis Hebron sangat tinggi. Hasil ujian IGCSE O’level dan A’level setiap semester per tahunnya selalu masuk 10 besar dunia.

Selanjutnya, langkah-langkah awal yang diambil adalah merekrut penutur bahasa Inggris selaku bahasa ibu, melakukan kerja sama dengan Cambridge University Board melalui British Council, studi banding, melakukan pelatihan bahasa Inggris untuk para guru, melakukan promosi, dan melengkapi fasilitas sekolah sesuai tuntutan program. Langkah ini diambil secara bertahap dengan memerhatikan skala prioritas.

Langkah maju
Hal menarik yang dilakukan oleh sekolah dalam menangani hal di atas adalah mengubah pola guru multisubyek dan multilevel menjadi guru multilevel saja. Risikonya, sekolah harus memiliki guru dengan jumlah ideal sesuai mata pelajaran yang diampu. Selain itu, guru dituntut memiliki kemampuan bahasa Inggris yang memadai.

Melalui tahapan perencanaan yang disepakati, program berjalan meskipun berat dan dengan langkah tertatih-tatih. Hasilnya, pada tahun 2004 jumlah siswa meningkat menjadi 56, pada tahun 2005 jumlah siswa meningkat menjadi 98, pada tahun 2006 jumlah siswa meningkat menjadi 158, dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 189. Komposisi siswa Indonesia dibandingkan dengan siswa lokal dan asing adalah 12,5 persen berbanding 87,5 persen.
Jumlah guru juga ditambah menjadi 28 orang, terdiri atas 7 guru dari Indonesia, 4 penutur bahasa Inggris selaku bahasa ibu, dan 17 guru lokal yang pernah mengajar di sekolah internasional.

Peluang dan tantangan
Berdasarkan komposisi jumlah siswa di atas, tampak bahwa kehadiran IISY diperlukan masyarakat lokal dan warga asing (khususnya dari kedutaan lain) di Myanmar. Untuk itu, IISY mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai salah satu sekolah internasional sesuai harapan Mendiknas. Sebagai informasi, sekolah internasional yang telah ada di Yangon adalah: Yangon International School (berbasis Amerika), Horizon International School (sekolah Turki), Pakistani School, Garden International School, dan Diplomatic School.

Jika IISY dikembangkan menjadi sekolah internasional berkarakter Indonesia, keberadaannya akan memiliki keuntungan dalam hal promosi budaya, politis, ekonomi, dan perekat kerja sama antarnegara. Keberadaan sekolah ini juga diharapkan memberikan stimulus terhadap sekolah-sekolah Indonesia untuk berkembang.

Menyamakan persepsi
Konsep rintisan sekolah berstandar Internasional yang penulis kembangkan itu memang dalam tahap perjalanan, tetapi memiliki kejelasan arah. Artinya, sekolah berusaha memfasilitasi kebutuhan pasar (siswa) dan pemerintah tanpa mengorbankan tuntutan keindonesiaan.
Penulis yakin bahwa beberapa institusi pendidikan yang berada di Indonesia telah melakukan hal yang sama atau lebih. Meskipun begitu, masih banyak sekolah yang berlabel RSBI, tetapi tidak paham konsep sekolah internasional.

Penulis terkejut membaca beberapa tulisan di internet terkait dengan RSBI. Ternyata banyak kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah menerjemahkan konsep RSBI secara berbeda.
Beberapa mengatakan bahwa RSBI berarti menggunakan bahasa Inggris dalam KBM, memiliki fasilitas tertentu, dan ada yang menerjemahkan yang terpenting warga sekolah memiliki wawasan internasional. Lebih ekstrem lagi, sekolah harus memiliki mitra di luar negeri.

Melihat keberagaman persepsi tentang RSBI itu, penulis tergerak menyampaikan pengalaman ini. Semoga berguna sehingga uang miliaran yang dialokasikan untuk kegiatan ini tidak sia-sia.

WAHONO, Mantan Kepala Sekolah Indonesian International School Yangon (2003-2006)

Wednesday 10 October 2007

Sejarah Milis Dikmenjur

Sejarah Milis Dikmenjur
Ditulis Oleh Ir. Wahyu Purnomo, MT
Thursday, 04 October 2007
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan SMK, salah satu infra struktur yang diperlukan adalah sarana komunikasi yang efisien dan efektif. Dr.Ir. Gatot Hari Priowirjanto , Direktur Dikmenjur waktu itu menggagas sebuah mailing list, maka disetuplah Milis Dikmenjur pada tanggal 5 Oktober 1999 dengan alamat mailto:alamatdikmenjur@egroups.com

Alamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya, sebagai moderator pertama adalah wahyuPur .
Dengan member awal adalah SMKN 6 Jakarta serta SMKN 1 Makasar serta beberapa P3G, milis ini terus berkembang, tahun kedua sudah mencapai 3000-an, dan sekarang 5000 lebih member, dari para Guru, Dosen, WI, Pakar dan Praktisi IT serta banyak lagi, dari sabang hingga papua.

Saat ini Dikmenjur menjadi Direktorat Pembinaan SMK dengan Direktur Bapak Dr. Joko Sutrisno, yang saat menjadi Staf Ahli Seameo Voctech Brunei Darrussalam -juga member milis dikmenjur, pada ultah tahun 1 milis dikmenjur memberi 'hadiah' pelatihan ke Brunei Darusalam bagi salah satu moderator milis dikmenjur. Sehingga Ulah tahun 1 milis dikmenjur ditandai dengan kopi darat para aktifisnya di VEDC Malang pada November 2000. Aktifis dari berbagai daerah yang hanya bertemu di milis saat itu langsung bisa bertatap muka dan saling kenal pada kopi darat dalam sebuah Pelatihan Multimedia.

Saat ini milis Dikmenjur sudah menjadi milis yg tidak hanya untuk pendidikan kejuruan, dengan alamat email dikmenjur@yahoogroups.com

Alamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya dan web alamat webhttp://groups.yahoo.com/group/dikmenjur
Berikut ini ditulis langsung oleh pelaku "sejarah" PakMajid :
-------------------------------------------------------------------------------------
Kalau dilihat kilas balik milis kita ini sudah 8 tahun ngak terasa, masih segar dalam ingatan kami, pak wahyu datang ke SMK 6 Jkt,terus membertahukan Dikmenjur sudah punya milis, langsung kami daftar sehingga kami berada di posisi 2 atau 3 dalam pendaftaran di milisDan atas support dari Pak Wahyu saat itu ke SMK 6 sampai saat ini kami tetap eksis dalam pengembangan TI, dan sekarang dengan adanyapertemuan di Malang bulan Nopember kami sangat mendukung, Insya Allah kami bisa menghadirinya.Terus masih segar juga dalam ingatan kami yang mungkin sampai saat ini tidak bisa kami melupakan pada bulan Nopember 2000 ada workhsop Multimediadi diadakan VEDC Malang dan SEAMEO VOCTEC Brunai , dan ini merupakan workshop yang dihadiri sejumlah Aktivis TI yang sampai saat ini masih tetapeksis diantara teman tersebut yang masih kami ingat adalah :

1. Mas Khalid ( Nick name Nugie ) mungkin semua sudah kenal, tapi kalau nama nugie masih banyak yang belum tau, mas khalid dulu kalau komputernya tidakbisa dioperasikan di gebrak-gebrak dulu baru bisa, Untuk mas khalid ini dari dulu sampai sekarang masih sama tidak ada perubahan yaitu masih sendiri saja belum ada pendamping ( alias maried)

2. Mas Kwarta, mungkin ini juga sudah kenal semua,kami secara pribadi banyak belajar dari Mas kwarta ini terutama dalam pengelolaan Multimedia.

3. Mang Bona ( nick name gemblung) , kayaknya ini juga sudah kenal semua, apalagi yang banyak berhubungan dgn Wireless, termasuk yang aktip sebelum berubah halaun menjadi wiraswasta,.....

4. Dari Bandung ada Pak Made ( VEDC Bandung ) ini teman di waktu LKS Jakarta, Pak Purwanto (kemaren kayaknya udah nyahut ), Pak Gun ( ini orang Dikmenti Jabar ) serta Kang Asep ( tukan sulap hehehehh ), ada satu lagi yang dulu sangat aktif mang Dodo ( Ciamis , Gimana kabar Mang ...)

5. Dari Makassar selain Mas Khalid ada Mas Tope ( ini jagoan di pariwisata) , terus Bu zainab atau Bu zubaidah saya agak lupa namanya, tapi yg pernah saya dengar udah jadi Kepsek dan satu lagi Bapak yg kalem tapi tekun belajarnya Bpk Esa ( sekarang jadi Kepsek Indonesia di Syiria )

6. Dari Surubaya ada Bu Rintis Jona ( Dikmenti Jatim ) dan Mas Jarwanto ( gimana kabar nya udah selesai S2 ) serta dari Palembang ada Bpk Junaedi ( Dikmenti Sumsel , kapan lagi ke Prabumuli pak. ).

7, Kalau dari Jakarta selain Mang Bona ( jawis), kami sendiri Pak Majid (SMK 6 Jkt), Bpk Rahman ( BPK Penabur) dan Bpk Hasmi ( Bunda Kandung )Pada acara workshop tersebut dihadiri Kepala SEAMEO dari Brunai, Bapak Gatot HP (terima kasih pak atas nasihatnya) dan dari Kepala VEDC, serta satu lagiBapak Heru ( Sekolah 2000 atau APJII , bapak ini sekarang dimana yaa)Mungkin ini yang masih kami ingat, teman yang lain bisa bantu, gimana acara nanti ke malang ..Ini mungkin sedikit memoar yang bisa saya sharing ke teman semuanya, yah sekedar bagi pengalamanSekian dan terima kasihabd majidsmk 6 jkt
-------------------------------------------------------
di wikimedia, juga bisa dibaca tercatat sebagai milis terbesar untukpendidikan:
September 1996 merupakan tahun peralihan bagi ITB, karena keterkaitan ITB dengan jaringan penelitian Asia Internet Interconnection Initiatives (AI3) sehingga memperoleh bandwidth 1.5Mbps ke Jepang yang terus ditambah dengan sambungan ke TelkomNet & IIX sebesar 2Mbps. ITB akhirnya menjadi salah satu bagian terpenting dalam jaringan pendidikan di Indonesia yang menamakan dirinya AI3 Indonesia yang mengkaitkan 25+ lembaga pendidikan di Indonesia di tahun 1997-1998-an.
Jaringan pendidikan ini bukan hanya monopoly ITB saja, jaringan pendidikan lain yang lebih besar lagi adalah jaringan SMK yang dibawahi DIKMENJUR (dikmenjur@egroups.com

Alamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya. Di tahun 2006, praktis ada lebih dari 4000 sekolah di Indonesia yang tersambung ke Internet sebagian besar adalah SMK.

Tuesday 2 October 2007

The Competency-Based Approach to Training

The Competency-Based Approach to Training
JHPIEGO Strategy Paper • September 1995Prepared by Rick Sullivan, PhDDirector, Training Office, JHPIEGO Corporation

What is CBT?
Characteristics of CBT
Advantages and Limitations of CBT
Models and Simulations of CBT
Evaluation and Assessment in CBT
ImImplications for Using CBT
JHPIEGO's Approach to CBT
Transfer of Training
Summary
References
Credits

Throughout the world, millions of students go to school every day. These students study subjects such as science, language and mathematics in courses usually scheduled to last the duration of the school year. Because progression through the various subjects in school is time-based, at any given time during the year the teacher is expected to be at a specific point in the textbook or course content. While not every student may progress at the same rate, the schedule typically requires everyone to move at the same rate as the teacher. Tests are administered periodically to ensure students understand the concepts and principles. Test scores often are compared to determine the grades of the students. Unfortunately, when a student does not do well on a test there often is little time for individual assistance as the teacher must move on in order to adhere to the established time schedule.

While traditional, time-based approaches to education have met with varying levels of success over the years, it is an ineffective system when the goal is to train individuals to perform specific, job-related skills. For example, an active, certified airline pilot is attending a 3-week training course to learn to fly a new type of aircraft. Will attending all sessions during the course ensure the pilot can fly the plane? Of course not! If the pilot is unable to attend 2 days of the course, does this mean the pilot cannot fly the plane? Probably not. After 4 days, the pilot does poorly on a written test. Should the pilot immediately fail the course or should the pilot continue with assistance and be given the opportunity to be tested again? If the pilot can pass all written tests does this indicate that the pilot can fly the plane? No! In addition to assessing knowledge, an evaluation of the pilot’s skills also is required.

Obviously, the time-based educational system used in schools and universities is not appropriate when conducting training. A more appropriate approach is competency-based training (CBT).

What is CBT?
In a traditional educational system, the unit of progression is time and it is teacher-centered. In a CBT system, the unit of progression is mastery of specific knowledge and skills and is learner- or participant-centered. Two key terms used in competency-based training are:
· Skill—A task or group of tasks performed to a specific level of competency or proficiency which often use motor functions and typically require the manipulation of instruments and equipment (e.g., IUD insertion or Norplant ® implants removal). Some skills, however, such as counseling, are knowledge- and attitude-based.
· Competency—A skill performed to a specific standard under specific conditions.
There appears to be substantial support for competency-based training. Norton (1987) believes that competency-based training should be used as opposed to the “medieval concept of time-based learning.” Foyster (1990) argues that using the traditional “school” model for training is inefficient. After in-depth examinations of three competency-based programs, Anthony Watson (1990) concluded that competency-based instruction has tremendous potential for training in industry. Moreover, in a 1990 study of basic skills education programs in business and industry, Paul Delker found that successful training programs were competency-based.
A competent clinician (e.g., physician, nurse, midwife, medical assistant) is one who is able to perform a clinical skill to a satisfactory standard. Competency-based training for reproductive health professionals then is training based upon the participant’s ability to demonstrate attainment or mastery of clinical skills performed under certain conditions to specific standards (the skills then become competencies).

Norton (1987) describes five essential elements of a CBT system:
- Competencies to be achieved are carefully identified, verified and made public in advance.
- Criteria to be used in assessing achievement and the conditions under which achievement will be assessed are explicitly stated and made public in advance.
-The instructional program provides for the individual development and evaluation of each of the competencies specified.
- Assessment of competency takes the participant’s knowledge and attitudes into account but requires actual performance of the competency as the primary source of evidence.
- Participants progress through the instructional program at their own rate by demonstrating the attainment of the specified competencies.

Characteristics of CBT
How does one identify a competency-based training program? In addition to a set of competencies, what other characteristics are associated with CBT?

According to Foyster (1990), Delker (1990) and Norton (1987) there are a number of characteristics of competency-based programs. Key characteristics are summarized in

Characteristics of Competency-Based Training Programs
Competencies are carefully selected.
Supporting theory is integrated with skill practice. Essential knowledge is learned to support the performance of skills.
Detailed training materials are keyed to the competencies to be achieved and are designed to support the acquisition of knowledge and skills.
Methods of instruction involve mastery learning, the premise that all participants can master the required knowledge or skill, provided sufficient time and appropriate training methods are used.
Participants’ knowledge and skills are assessed as they enter the program and those with satisfactory knowledge and skills may bypass training or competencies already attained.
Learning should be self-paced.
Flexible training approaches including large group methods, small group activities and individual study are essential components.
A variety of support materials including print, audiovisual and simulations (models) keyed to the skills being mastered are used.
Satisfactory completion of training is based on achievement of all specified competencies.
Advantages and Limitations of CBT

One of the primary advantages of CBT is that the focus is on the success of each participant. Watson (1990) states that the competency-based approach “appears especially useful in training situations where trainees have to attain a small number of specific and job-related competencies” (page 18). Benefits of CBT identified by Norton (1987) include:
· Participants will achieve competencies required in the performance of their jobs.
· Participants build confidence as they succeed in mastering specific competencies.
· Participants receive a transcript or list of the competencies they have achieved.
· Training time is used more efficiently and effectively as the trainer is a facilitator of learning as opposed to a provider of information.
· More training time is devoted to working with participants individually or in small groups as opposed to presenting lectures.
· More training time is devoted to evaluating each participant’s ability to perform essential job skills.

While there are a number of advantages of competency-based training, there also are some potential limitations. Prior to implementing CBT, it is important to consider these limitations:
· Unless initial training and followup assistance is provided for the trainers, there is a tendency to “teach as we were taught” and CBT trainers quickly slip back into the role of the traditional teacher.
· A CBT course is only as effective as the process used to identify the competencies. When little or no attention is given to identification of the essential job skills, then the resulting training course is likely to be ineffective.
· A course may be classified as competency-based, but unless specific CBT materials and training approaches (e.g., learning guides, checklists and coaching) are designed to be used as part of a CBT approach, it is unlikely that the resulting course will be truly competency-based.

Models and Simulations in CBT
Models and simulations are used extensively in competency-based training courses. Airplane pilots first learn to fly in a simulator. Supervisors first learn to provide feedback to employees using role plays during training. Individuals learning to administer cardiopulmonary resuscitation (CPR) practice this procedure on a model of a human (mannequin).
Satur and Gupta (1994) developed a model which facilitates skill development in performing and evaluating coronary anastomoses with an angioscope. The results of their study indicate that models are proving invaluable as a training tool. George H. Buck in a 1991 historical review of the use of simulators in medical education concluded that “Given the developments in this technology within the last 50 years, it is possible that the use of simulators will increase in the future, should the need arise to teach new concepts and procedures at set times to large groups of individuals” (p. 24). Researchers in two different experimental studies involving training people to perform breast self-examinations (BSE) compared several methods and found that using models was the most effective training method (Campbell et. al., 1991 and Assaf et. al., 1985). In a multicenter evaluation of training of physicians in the use of 30-cm flexible sigmoidoscopy, Weissman et al (1987) found that they were easily trained by first practicing on plastic colon models.

Norton (1987) believes that participants in a competency-based training course should learn in an environment that duplicates or simulates the work place. Richards (1985) in writing about performance testing indicates that assessment of skills requires tests using simulations (e.g., models and role plays) or work samples (i.e., performing actual tasks under controlled conditions in either a laboratory or a job setting). Finally, Delker (1990) in a study of business and industry found that the best approach for training involved learner-centered instruction using print, instructional technology and simulations.

Evaluation and Assessment in CBT
Evaluation in traditional courses typically involves administering knowledge-based tests. While knowledge-based assessments can certainly be used in CBT to measure mastery of information, the primary focus is on measuring mastery of skills. In keeping with this, Thomson (1991) reports that the decision to recognize a performance as satisfactory and to determine competence should be the basis for success of a competency-based program. Moreover, Foyster (1990) argues that assessment in competency-based programs must be criterion-referenced with the criterion being the competencies upon which the program is based. Finally, Richards (1985) indicates that simulation and work sample performance tests should include a checklist or some type of rating scale.

Implications for Using CBT
In a 1990 study of three operating competency-based programs, Anthony Watson identified a number of implications for organizations considering implementing a CBT system:
· Organizations must be committed to providing adequate resources and training materials. · Audiovisual materials need to be directly related to the written materials.
· Training activities need to match the objectives.
· Continuous participant interaction and feedback must take place.
· Trainers must be trained to conduct competency-based training courses.
· Individuals attending training must be prepared for CBT as this approach is likely to be very different from their past educational and training experiences.

JHPIEGO’s Approach to CBT
JHPIEGO Corporation has adopted a competency-based approach to conducting clinical training in selected reproductive health practices. Based on the principles summarized in this paper, JHPIEGO’s approach to CBT involves key activities which occur during the design, delivery and evaluation of training courses. These activities are summarized here and explained in detail in JHPIEGO’s Clinical Training Skills for Reproductive Health Professionals and Advanced Training Skills for Reproductive Health Professionals reference manuals.
The key activities around which JHPIEGO’s competency-based training is built include design, delivery and evaluation activities. The components of each are summarized

Design Activities
Identification of the specific clinical skills (e.g., IUD, Norplant implants, counseling, infection prevention or minilaparotomy) that will form the basis of a competency-based training course.
Identification of the conditions (e.g., using models, role plays, clients) under which the skills must be demonstrated.
Development of the criteria or standards to which the skills must be performed.
Development of the competency-based learning guides and checklists which list each of the steps and sequence (if necessary) required to perform each skill or activity.
Development of reference manuals which contain the essential, need-to-know information related to the skills to be developed.
Development of models (e.g., Zoe pelvic model, Norplant implants training arm) to be used during training.
Development of training objectives which outline what the participant must do in order to master the clinical skills.
Development of course outlines which match a variety of training methods and supporting media to course objectives.
Development of course syllabi and schedules which contain information about the course and which can be sent to

Delivery and Evaluation Activities
Administration of a precourse questionnaire to assess the participants’ knowledge and attitudes about course content.
Administration of precourse skill assessments using models to ensure participants possess the entry level skills (e.g., able to perform a pelvic exam if learning to insert IUDs) to complete the course successfully and role plays to determine the level of their communication (counseling) skills.
Delivery of the course by a trainer/facilitator using an interactive and participatory approach.
Transfer of skills from the trainer to the participants through clinical and counseling skill demonstrations using slide sets, videotapes, models, role plays and finally, clients.
Development of the participants’ skills using a humanistic approach, which means participants acquire the skill and then practice until competent using anatomic models and role plays.
Practice of the skills following the steps in the learning guide until the participant becomes competent at performing the skill. During this time the trainer functions as a coach providing continuous feedback and reinforcement to participants. Only when participants are assessed and determined to be competent on a model do they work with clients.
Presentation of supporting information and theory through interactive and participatory classroom sessions using a variety of methods and audiovisuals.
Administration of a midcourse questionnaire to determine if the participants have mastered the new knowledge associated with the clinical skills.
Guided practice in providing all components of the clinical service.
Evaluation of each participant’s performance (i.e., knowledge, attitudes, practice and clinical skills) with clients. The evaluation by the trainer is performed using competency-based checklists. The participant is either qualified or not qualified as a result of the knowledge, attitude and skills assessments.
Presentation of a statement of qualification which identifies the specific clinical service the individual is qualified to provide.

Transfer of Training
JHPIEGO uses a four-step process to transfer specific clinical skills and knowledge from experts to service providers. These steps are part of the process of developing a family planning training system within a country. The four steps include:
· Standardizing provision of clinical services and modifying and adapting JHPIEGO training materials as necessary
· Training service providers to provide these services competently, according to the approved standards
· Identifying and preparing proficient service providers to function as clinical skill trainers so they are able to train other service providers
· Identifying and preparing clinical skill trainers to function as advanced and eventually master trainers so that they are able to train other clinical skill trainers, evaluate training and develop or revise course materials
The first step is to standardize the clinical skill(s) to be used in the delivery of family planning services. For example, in a country there may be a need to train clinicians to perform IUD insertions and removals. The first activity conducted is to identify and observe a group of clinicians who are performing these procedures. The steps the clinicians perform are observed and compared to the standard approach outlined in JHPIEGO’s competency-based IUD learning guides and checklists. This observation process gives JHPIEGO trainers an idea of the skill levels of those who will be trained to be service providers. As necessary, JHPIEGO’s learning guides and checklists are modified to meet the specific service delivery standards or norms within the host country. The standardized procedure then forms the basis for the service provider training courses conducted within the country.
The second step is to train a specific group of service providers to perform the standardized clinical skills. The clinical skills course is based on a training package (see Figure 1) consisting of a reference manual, supporting audiovisuals, anatomic models, and trainer and participant handbooks (which contain the learning guides and checklists based on the standardized procedure). Following the clinical skills course, these competent service providers provide clinical services to clients. After providing services for a period of time, a group of the most proficient service providers who have demonstrated an interest and willingness to become clinical trainers undergo training skills training.

Figure 1
The third step in the transfer process is to prepare a group of proficient service providers to be clinical skill trainers. These service providers attend a clinical training skills course which also is based on a training package. During this course, participants will have their clinical knowledge updated and skills assessed and standardized to ensure they are proficient at performing the clinical skill. Participants will then learn how to demonstrate clinical skills, transfer knowledge and skills during training, function as clinical coaches, and use competency-based learning guides and checklists to assess participant performance. Following the clinical training skills course these clinical skill trainers conduct service provider training courses. During their first service provider course they either co-train with an advanced (or master) clinical trainer or are observed by a training skills trainer.
The final step in the process of transferring skills is to prepare a small group of proficient clinical skill trainers to become advanced trainers. These clinical skill trainers attend an advanced training skills course which is also based on a training package. During this course, participants learn how to conduct needs assessments, design training courses, facilitate the group dynamics occurring during a course, and evaluate training. Following the advanced training skills course these advanced trainers conduct clinical training skills courses. During their first several training courses they cotrain with a master trainer. After successfully delivering several training skills courses these individuals can be qualified to function as a master trainer.
Summary

Based on the concepts and principles presented in this paper, the key features of JHPIEGO’s approach to training include:
· Development of competencies (knowledge, attitude and practice) is based on national standards.
· Quality of performance is built into the training process.
· Emphasis of the training is on development of qualified providers, not on the number of clinicians undergoing training.
· Training builds competency and confidence because participants know what level of performance is expected, how knowledge and skills will be evaluated, that progression through training is self-paced, and that there are opportunities for practice until mastery is achieved.

References
Assaf AR et al. 1985. Comparison of Three Methods of Teaching Women How to Perform Breast Self-Examination. Health Education Quarterly Fall: 259–272.
Buck GH. 1991. Development of Simulators in Medical Education. Gesnerus (48): 7–28.
Campbell H et al. 1991. Improving Physicians’ and Nurses’ Clinical Breast Examination: A Randomized Controlled Trial. American Journal of Preventive Medicine 7(1): 1–8.
Delker PV. 1990. Basic Skills Education in Business and Industry: Factors for Success or Failure. Contractor Report, Office of Technology Assessment, United States Congress.
Foyster J. 1990. Getting to Grips with Competency-Based Training and Assessment. TAFE National Centre for Research and Development: Leabrook, Australia. ERIC: ED 317849
Norton RE. 1987. Competency-Based Education and Training: A Humanistic and Realistic Approach to Technical and Vocational Instruction. Paper presented at the Regional Workshop on Technical/Vocational Teacher Training in Chiba City, Japan. ERIC: ED 279910.
Richards B. 1985. Performance Objectives as the Basis for Criterion-Referenced Performance Testing. Journal of Industrial Teacher Education 22(4): 28–37.
Satur CMR and Gupta NK. 1994. Angioscopy-Guided Training Model of Coronary Artery Anastomosis. Annals of Thoracic Surgery 57(5): 1343–1345.
Thomson P. 1991. Competency-Based Training: Some Development and Assessment Issues for Policy Makers. TAFE National Centre for Research and Development: Leabrook, Australia. ERIC: ED 333231
Watson A. 1990. Competency-Based Vocational Education and Self-Paced Learning. Monograph Series, Technology University: Sydney, Australia. ERIC: ED 324443
Weissman GS et al. 1987. Multicenter Evaluation of Training of Non Endoscopists in 30-CM Flexible Sigmoidoscopy. Cancer Journal for Clinicians 37(1): 26–30.

JHPIEGO Strategy Papers are designed to summarize JHPIEGO’s experience in reproductive health, with a focus on education and training. The papers are intended for use by program staff of JHPIEGO, USAID and its cooperating agencies and other organizations providing or receiving technical assistance in the area of reproductive health training.
©Copyright 1995 by JHPIEGO Corporation. All rights reserved.

Financial support for this publication was provided in part by the United States Agency for International Development (USAID). The views expressed in this report are those of the authors/editors and do not necessarily reflect those of USAID.
JHPIEGO, an affiliate of the Johns Hopkins University, is a nonprofit organization dedicated to improving the health of women and families globally.
NORPLANT® is the registered trademark of the Population Council for subdermal levonorgestrel implants

Sunday 30 September 2007

Kawasaki Disease - Penyakit Langka

Subject: [hardrockfm] Sedikit tentang Kawasaki Disease (KD) - Penyakit Langka
From: "Lina R"
Date: Wed, September 26, 2007 12:53 pm

Guys, gw denger penyakit ini udah cukup lama dr sahabat gw yg bermukim di Sydney Aussie. Anaknya sempat terkena penyakit KD ini. Memang penyakit langka, ada 5000 anak/thn yg terkena penyakit ini. Tahun ini wabah penyakit ini sedang menyerang Jakarta, 2 org keponakan gw sudah terkena penyakit ini. Be careful ya para ortu. Jgn smp telat penanganannya.

Dear all parents,
Saya seorang , ibu dari Grace (8 th). Saya mau sekedar sharing dgn temen2 semua tentang **Kawasaki Disease (KD).** *
*Tanggal 4 Juli, Grace mengidap KD. *

*Ceritanya begini :** *

Pada hr 1 Grace panas tinggi (39 derajat) dan tidak turun2 sehingga sy bw ke RS GM (jkt barat) tetapi pada waktu itu dokter sedang ada seminar di bdg sehingga yang ada hanya dokter jaga, kata dokter hanya virus biasa n diberi obat tapi keesokan harinya masih panas tinggi dan keluar bercak2 merah seperti campak, lidah & matanya juga merah. *

*Saya bawa lagi ke RS, dikasih obat penurun panas yang dimasukkan ke dalam anus tetapi panasnya juga tidak turun, saya telp ke dokter langganannya dan kebetulan besoknya dia sudah ada di jkt. *

*Keesokannya saya bawa dia ke dokter tsb, dokter bilang ini ada ciri2 ke KD ini tapi belum pasti karena harus ditest, malemnya Grace diopname. *

*Setelah ditest, kata dokter infeksi saluran kencing, besoknya lagi kata dokter ada flek di paru2 dan diberi antibiotik dosis tinggi tapi tetap saja suhu badannya semakin tinggi mencapai 41 drjt. *

*Saya sangat khawatir dan saya coba utk mencari informasi tentang KD ini, kemudian saya telp ke dokter lain.*

*Dokter itu blg ini ciri2 KD dan ketika saya bilang ke dokter anak saya bahwa ini KD tetapi dia masih belum yakin, pada waktu itu sudah hari ke 10 anak saya sakit dan di telapak kaki & tangan sudah mengelupas kulitnya terus diambil darah lagi dan dokter itu baru yakin kalo Grace mengidap KD karena trombosit naik mencapai 550rb (normal 200rb).*

*Saya sangat kecewa dgn dokter tersebut yang menurut saya dia tidak berpengalaman pdhal dia bilang dia sudah pernah menangani anak yg mengidap KD. Saya disuruh membeli obat namanya Gamma Immune seharga 3,5jt/botol dimana Grace memerlukan 10 botol.*

*Hari itu juga saya membeli dan diberikan kpd Grace (diinfus), akhirnya panasnya baru turun.*

*Setelah itu 2 hr diinfus dgn obat tersebut, Grace diperbolehkan pulang. *
*Tetapi setelah 2 hari di rumah,Grace mengidap serangan jantung. *
*Saya langsung bawa dia ke RSJ Hrp Kita dan dokter blg dia terserang serangan jantung dan koroner jantungnya membengkak mencapai 11 mm (normal 2mm) dimana penyakit ini biasanya menyerang org dewasa n dia pertama kali menangani anak kecil spt Grace.*
*Dia diopname di RSJ HK selama 2 mgg dan sampai skg koroner jtgnya msh membengkak dan dokter bilang akan memakan waktu cukup lama (mungkin sampai dewasa) koroner tersebut baru bisa normal. *

*Sebenarnya jika dokter tsb bisa lebih cepat mendiagnosa KD itu dan diberi obat secepatnya, koroner jantungnya Grace tidak akan membengkak spt ini.*

*Penyakit ini memang mengakibatkan kerusakan pada koroner jantung jika terlambat diberikan obat tsb.* Mungkin ibu2/bpk2 sudah membaca cerita saya ini sebelumnya, saya pernah mengirim email seperti ini tahun lalu dan saya banyak mendapatkan tanggapan hingga akhirnya saya menemukan dokter yang benar2 ahli KD, namanya Dr. Najib Advani.*

*Pd wkt dirawat di RSJ, banyak sekali wartawan2 media TV dtg kesana untuk mewawancarai kami.* Kami pernah ada di Kompas & berita2 di TV juga.*

*Penyakit ini menyerang anak2 balita terutama laki2 dan sy harap kalian semua dpt memperhatikan anak2nya yg dimana ciri2 KD sbb :*
*1. **Panas tinggi (38-41 derajat) selama berhari2*
*2. **Bercak2 merah seluruh badan, lidah & mata merah*
*3. **Ada pembengkakan di belakang telinga*
*4. **Infeksi saluran kencing*
*5. **Flek di paru2*
*6. **Trombosit naik (bisa mencapai 1jt)*
*7. **Pengelupasan kulit jari tangan & kaki (pd hari ke 10)*

*Banyak dokter anak yang belum begitu mengetahui tentang penyakit ini, saya sering mendapatkan telp dari ortu2 yang anaknya mengidap KD dan dokternya tidak mengetahui KD itu dan saya sarankan utk ke Dr. Najib (ahli jantung anak).*

*Dia praktek di RSCM, Bintaro, RSIB Harapan Kita & Siloam Gleneagles.*

*Kondisi Grace sekarang dia masih harus minum obat pengencer darah setiap hari, test darah setiap 2-3 mgg karena darahnya tidak boleh mengental (bisa terjadi penyumbatan), tidak boleh terlalu capek (olahraga).*


*Kondisi sekarang dia sudah mulai stabil dan tidak ada keluhan meskipun masih ada pembengkakan di koronernya.*Saya harap informasi ini dapat berguna bagi semua serta dapat diberitahukan kepada ortu2 lain*

*Semoga dapat dijadikan perhatiannya bagi seluruh anak Indonesia.*

Saturday 15 September 2007

My Proyek Akhir

ANALISIS IMPLEMENTASI PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI
PADA PROGRAM KEAHLIAN USAHA JASA PARIWISATA
SMK NEGERI 4 MAKASSAR[1]
Mustafa[2] , Surya Fajar Budiman, M.M Par[3]

ABSTRACT
This research is analyzing the implementation of competency based training at tours and travel department SMK 4 Makassar with the three component standards of implementation of competency based training (competency standards, assessments and strategy and learning materials) and also the driven and restraining factors. This research is using descriptive qualitative method with questionnaire, interview, observation and documentation techniques in collecting data. The result will give a big picture of the implementation and show how the implementation of competency based training at tours and travel department SMK 4 Makassar is.
Key words: competency, competency standard, competency based training, competency based assessment, learning materials.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rancangan sistem pendidikan dan pelatihan haruslah didasarkan pada pemahaman yang benar tentang jenis dan tingkat pendidikan dalam kompleksitas yang kian meningkat sehingga program-program pembelajaran dalam berbagai tempat dan situasi senantiasa menunjukkan keterkaitan dan kesepadanan (link and match). Dalam kerangka inilah, dibutuhkan implementasi pelatihan berbasis kompetensi yang dikenal dengan Competency Based Training (CBT). Pelatihan berdasarkan kompetensi adalah sebuah konsep yang relatif masih baru, namun istilah ini sekarang telah tertanam kuat dibenak hampir semua pihak terkait di bidang pendidikan khususnya di bidang kejuruan, seiring dengan diadakannya penguatan pada pelaksanaan kurikulum edisi 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan adanya analisis terhadap implementasi pelatihan berbasis kompetensi yang telah dilaksanakan selama ini. Olehnya itu dalam penulisan tugas akhir ini akan diungkapkan mengenai “Analisis Implementasi Pelatihan Berbasis Kompetensi pada Program Keahlian Usaha Jasa Pariwisata SMK Negeri 4 Makassar”.
Berdasarkan latar belakang diatas, diidentifikasi beberapa masalah dalam penulisan proyek akhir ini, yaitu; kurangnya perencanaan pelatihan berbasis kompetensi, belum diketahuinya implementasi pelatihan berbasis kompetensi, masih rendahnya kepedulian pendidik pada pelatihan berbasis kompetensi, belum tepatnya pola penilaian pada pelatihan berbasis kompetensi, dan belum diketahuinya dampak pelatihan berbasis kompetensi pada program keahlian usaha jasa pariwisata SMK Negeri 4 Makassar. Hal inilah yang menjadikan alasan untuk lebih jauh mengetahui permasalahan pelatihan berbasis kompetensi di SMK Negeri 4 Makassar. Penulisan tugas akhir ini dibatasi pada “belum diketahuinya implementasi pelatihan berbasis kompetensi”.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, adalah; (1) mengetahui implementasi pelatihan berbasis kompetensi pada program keahlian usaha jasa pariwisata (UJP) SMK Negeri 4 Makassar, (2) memahami pemenuhan komponen pokok dasar pelatihan berbasis kompetensi pada program keahlian usaha jasa pariwisata (UJP) SMK Negeri 4 Makassar, (3) mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi pelatihan berbasis kompetensi pada program keahlian usaha jasa pariwisata (UJP) SMK Negeri 4 Makassar.

LANDASAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Konsep Kompetensi
Kata “kompetensi” ditinjau dari perspektif epistimologi berasal dari kata “kompeten” atau mampu. Kata mampu di sini diartikan sebagai kemampuan atau keahlian untuk melakukan suatu pekerjaan atau aktifitas. Tinjauan lebih luas mengenai makna kata kompetensi terkait dengan terminologi ketenagakerjaan, adalah “suatu kemampuan yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk melakukan suatu pekerjaan”(Depdiknas, 2003a:3), ditegaskan pula bahwa “konsep kompetensi difokuskan pada apa yang diharapkan dari seorang pekerja di tempat kerja dan bukan dalam proses belajar, semua aspek pelaksanaan pekerjaan dan yang termasuk di dalamnya bukan hanya tugas kecil dalam arti sempit”. (Thomson, 2004: 4)

Pengertian Competency Based Training
Pelatihan berbasis kompetensi (competency based training) adalah pelatihan kejuruan yang penekanan utamanya terletak pada apa yang dapat dilakukan seseorang di tempat kerja sebagai hasil dari pelatihan (hasilnya), dan karena itu mencerminkan sebuah pergeseran yang semakin jauh dari penekanan pada proses yang terlibat dalam pelatihan (masukan). Pelatihan berdasarkan kompetensi adalah pelatihan menurut standar industri tertentu, dan bukan keberhasilan seseorang dibandingkan dengan yang lain dalam sebuah kelompok (Harris, 2004:3)

Komponen Pelatihan Berbasis Kompetensi
Dalam mengimplementasikan pelatihan berbasis kompetensi, ada 4 komponen yang harus diperhatikan, yaitu; (1) standar kompetensi, (2) penilaian, (3) strategi dan materi pembelajaran, (4) kerangka kalifikasi kerja (BNSP, 2006a:27). Dari keempat komponen tersebut, keberhasilan implementasi pelatihan berbasis kompetensi dipengaruhi oleh 3 hal pokok, yaitu; (1) kualitas standar kompetensi, (2) kualitas sistim penilaian dan (3) kualitas strategi dan materi pembelajaran yang dilaksanakan (BNSP, 2006a:33)

Standar Kompetensi
Standar kompetensi merupakan spesifikasi pelaksanaan yang diharapkan dalam pekerjaan (Thomson, 2004:5). Ini berarti standar kompetensi suatu bidang keahlian distrukturkan dengan bentuk bagaimana menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah atau melaksanakan tugas dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
Standar kompetensi adalah pernyataan-pernyataan yang disusun dengan cermat untuk menjabarkan (dalam bentuk hasil) pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk fungsi atau peran kunci di tempat kerja (Thomson, 2004:23)

Penilaian Pelatihan Berbasis Kompetensi
Penilaian adalah proses penentuan nilai hasil pengukuran dibandingkan dengan acuan atau standar tertentu. Sedangkan pengukuran adalah proses kuantifikasi atau pengumpulan bukti-bukti suatu gejala atau obyek menurut aturan tertentu yang dapat dilakukan baik dengan cara tes maupun dengan cara nontes (Depdiknas, 2004:5). Australian National Training Authority (ANTA) mendefinisikannya sebagai, “to determine whether a person is competent they must be assessed against a set of criteria” (ANTA, 2000:16).

Strategi dan Materi Pembelajaran
Menurut Harris (2004:23) “pengembangan program pelatihan berbasis kompetensi harus mengubah tatacara pengaturan yang biasa”. Hal-hal tersebut meliputi: akses masuk dan keluar, kemajuan yang diraih oleh peserta pelatihan, kepegawaian, catatan-catatan prestasi, memadukan belajar didalam dan diluar tempat kerja, penggunaan bahan-bahan, pengakuan terhadap pelajaran terdahulu (RPL).

Faktor Pendukung CBT
Ada tujuh faktor pendukung pelaksanaan pelatihan berbasis kompetensi yaitu; (1) tersedianya standar kompetensi dalam bentuk SKKNI dan SLMA untuk semua kompetensi yang diajarkan, (2) dilaksanakannya pelatihan pemahaman mengenai pelatihan berbasis kompetensi dan pengujian berbasis kompetensi bagi pengajar adaptif, normatif dan produktif program keahlian usaha jasa pariwisata, (3) tersedianya assessor baik internal maupun eksternal, (4) pemahaman peserta didik mengenai pelatihan berbasis kompetensi, (5) dukungan orang tua siswa bagi peserta didik, (6) hubungan yang terjalin dengan pihak industri, (7) tersedianya fasilitas pendukung untuk praktik kompetensi program usaha jasa pariwisata (MTTP, 2005:9).

Faktor Penghambat CBT
Ada tujuh faktor penghambat pelaksanaan pelatihan berbasis kompetensi yaitu; (1) pemahaman stakeholder, (2) perubahan kebijakan nasional dan lokal, (3) perbedaan presepsi dalam implementasi, (4) perkembangan industri yang sulit diikuti oleh sekolah, (5) keterbatasan kemampuan pengajar/instruktur, (6) keterbatasan dukungan peralatan, (7) biaya pemeliharaan dan penggantian peralatan yang cukup mahal (MTTP, 2005:9)
Implementasi Pelatihan Berbasis Kompetensi

Faktor Pendukung
a. Standar kompetensi
b. Pelatihan pemahaman Pelatihan Berbasis Kompetensi/Penilaian Berbasis Kompetensi
c. Tersedianya Assessor
d. Pemahaman Peserta Didik
e. Dukungan Orang Tua
f. Hubungan yang terjalin dengan pihak industri
g. Fasilitas Pendukung Praktik
Faktor Penghambat
a. Pemahaman stakeholder
b. Perubahan kebijakan nasional dan lokal
c. Perbedaan presepsi
d. Perkembangan industri
e. Kemampuan pengajar/instruktur
f. Keterbatasan dukungan peralatan
g. Biaya pemeliharaan dan penggantian peralatan yang cukup mahal

Komponen Dasar Pelatihan Berbasis Kompetensi :
1. Standar Kompetensi
2. Penilaian
3. Strategi dan Materi Pembelajaran


METODOLOGI PENELITIAN

Metode dan Unit Analisis Penelitian
Penelitian merupakan usaha yang dilakukan secara sengaja yang diarahkan untuk mengetahui atau mempelajari gejala-gejala atau fenomena baru. (Kusmayadi dan Sugiarto, 2000:18). Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel, gejala atau keadaan. (Suharsimi Arikunto, 2005:234). Berdasarkan hal tersebut metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif yang akan mengungkapkan gambaran implementasi pelatihan berbasis kompetensi pada program keahlian usaha jasa pariwisata SMK Negeri 4 Makassar yang telah dilakukan sejak tahun 2001, pemenuhan komponen dasar pelatihan berbasis kompetensi disertai faktor pendukung dan penghambatnya.
Unit analisis adalah unit yang diteliti dan akan dijelaskan serta merupakan obyek penelitian yang dapat berupa individu, perorangan, kelompok, organisasi, masyarakat, hasil karya manusia, instansi dan sebagainya (Kusmayadi dan Sugiarto, 2000:73).
Berkaitan dengan hal tersebut, unit analisis penelitian ini adalah program keahlian usaha jasa pariwisata SMK Negeri 4 Makassar dengan siswa dan gurunya.

Variabel dan Pengukurannya
Komponen Pokok Pelatihan Berbasis Kompetensi
Standar Kompetensi
· Pemahaman
· Manfaat
· Ketersediaan
· Pengembang
· Susunan
· Penggunaan

Penilaian
· Bukti
· Tujuan
· Pelaksanaan
· Penyusunan kriteria dan perangkat
· Verifikasi
· Rekomendasi
· Sertifikasi

Strategi dan Materi Pembelajaran
· Akses masuk dan keluar
· Kemajuan yang diraih oleh peserta pelatihan
· Kepegawaian
· Catatan-catatan prestasi
· Memadukan belajar didalam dan diluar tempat kerja
· Penggunaan bahan-bahan
· Pengakuan terhadap pelajaran terdahulu (RPL)

Faktor Pendukung
· Standar kompetensi
· Pelatihan pemahaman Pelatihan Berbasis Kompetensi/Penilaian Berbasis Kompetensi
· Tersedianya Assessor
· Pemahaman Peserta Didik
· Dukungan Orang Tua
· Hubungan yang terjalin dengan pihak industri
· Fasilitas Pendukung Praktik

Faktor Penghambat
· Pemahaman stakeholder
· Perubahan kebijakan nasional dan lokal
· Perbedaan presepsi
· Perkembangan industri
· Kemampuan pengajar/instruktur
· Keterbatasan dukungan peralatan
· Biaya pemeliharaan dan penggantian peralatan yang cukup mahal

Prosedur Penarikan Contoh (sampling)
Unit analisis merupakan satu faktor yang dipertimbangkan oleh peneliti dalam menentukan besarnya sampel disamping pendekatan, ciri-ciri khusus yang ada pada populasi dan keterbatasan yang ada pada peneliti (Suharsimi Arikunto, 2005:99). Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini menggunakan populasi yang terlibat dalam implementasi pelatihan berbasis kompetensi pada program keahlian usaha jasa pariwisata SMK Negeri 4 Makassar. Responden dan sumber datanya adalah siswa dan guru usaha perjalanan wisata, kepala sekolah dan wakil kepala sekolah. Dikarenakan jumlah siswa usaha perjalanan wisata terdiri dari 3 (tiga) kelas yang berbeda dan jumlahnya cukup besar maka penentuan responden dari siswa dilaksanakan dengan melakukan penarikan sampel siswa. Sampel dari siswa diambil wakil-wakil dari tiap-tiap kelompok siswa kelas 1,2 dan 3 yang mengikuti program usaha jasa pariwisata pada SMK Negeri 4 Makassar. Sampel ditentukan dengan mempergunakan formula Slovin (Slovin dalam Umar, 2000:176). Berdasarkan formula perhitungan tersebut, maka jumlah sampel dalam penelitian ini dari kelompok siswa adalah 72 (tujuh puluh dua) siswa program studi usaha perjalanan wisata. Jumlah keseluruhan responden dari penelitian ini adalah 86 orang, yaitu 10 orang guru, 72 orang siswa, 1 orang kepala sekolah dan 3 orang wakil kepala sekolah.

Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini mempergunakan teknik: (1) angket, yaitu membagikan angket/kuesioner kepada responden, (2) wawancara, yakni melakukan tanya jawab secara langsung kepada siswa dan guru usaha perjalanan wisata, kepala sekolah dan wakil kepala sekolah, (3) dokumentasi, yaitu mencatat data-data sekunder yang dianggap relevan dengan permasalahan, baik berupa ketersediaan standar kompetensi, pola pengujian, strategi dan materi pembelajaran serta laporan mengenai faktor pendukung dan penghambat implementasi pelatihan berbasis kompetensi, dan (4) observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung dan interaksi terhadap pelaksanaan implementasi pelatihan berbasis kompetensi pada program keahlian usaha jasa pariwisata SMK Negeri 4 Makassar.
Agar reliabilitas dan validitas data dapat dipertanggungjawabkan, maka dalam penelitian ini dipergunakan instrumen penelitian sebagai berikut: (1) kuesioner dipergunakan untuk menghimpun data responden tentang implementasi pelatihan berbasis kompetensi, (2) pedoman wawancara berupa daftar pertanyaan yang disusun secara sistematik untuk dijawab oleh responden kaitannya dengan implementasi pelatihan berbasis kompetensi, dan (3) daftar cocok (checklist), berupa daftar pengamatan untuk menilai implementasi pelatihan berbasis kompetensi pada program keahlian usaha jasa pariwisata SMK Negeri 4 Makassar.

Metode Analisis Data
Kegiatan analisis data dari seluruh responden dilakukan dengan mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, mentabulasi data, menyajikan data, melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah dan melakukan perhitungan untuk menguji permasalahan yang telah diajukan. Data yang terkumpul tersebut diolah secara deskriptif melalui analisa deskriptif kualitatif. Untuk mempermudah pengolahan datanya, digunakan alat bantu penghitungan komputer yaitu dengan menggunakan program SPSS versi 13.

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan mulai pada bulan Agustus s.d. September 2007 pada program keahlian usaha jasa pariwisata SMK Negeri 4 Makassar.

DAFTAR PUSTAKA
Australian National Training Authority (ANTA). 2000. Conducting Assessment. Victoria: Mercury Printeam.
Badan Nasional Stertifikasi Profesi (BNSP). 2006a, Assessor Training, Jakarta: Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Depdiknas. 2003a. Pengembangan Standar Kompetensi, Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Harris. 2004. Memahami Pelatihan Di Tempat Kerja, Lihat: Getting To Grips With. The National Centre for Vocational Education Research Ltd, Australia. Kensington Park, Leabrook SA 5068 Australia. Jakarta: Proyek Kerja sama Departemen Pendidikan Nasional.
Kusmayadi dan Sugiarto. 2000. Metodologi Penelitian dalam bidang Kepariwisataaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Makassar Tourism Training Project. 2005. Laporan Kegiatan 2005. Makassar: SMK Negeri 4 Makassar.
Suharsimi Arikunto. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Thomson. 2004. Memahami Pengambangan Standar Kompetensi. Lihat: Getting To Grips With. The National Centre for Vocational Education Research Ltd, Australia. Kensington Park, Leabrook SA 5068 Australia. Jakarta: Proyek Kerja sama Departemen Pendidikan Nasional.
Umar. 2000. Metoda Statitisk. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[1] Rancangan Judul Penelitian
[2] Mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti Jakarta, Program Studi Usaha Perjalanan Wisata
[3] Dosen Pembimbing

My Curriculum Vitae

Curriculum Vitae


NAME: MUSTAFA, SST.Par, M.Pd
called as “Tope”


Personal Address
Jl Tinumbu Lorong 148 A
Makassar South Sulawesi
Indonesia

Office Address
SMK Negeri 4
Jl Bandang No140
Makassar South Sulawesi
Indonesia

Email Address topemakassar @yahoo.com
my blog http://mustafatope.blogspot.com
Phone 62-411 330514 / 0411-5793307
Fax (office) 62-411 334740
Mobile Phone 0812 420 7707

Nationality: Indonesian

date of birth: 27 March 1973


QUALIFICATIONS - Indonesia and Australian

Program of Study/Institute/Location/Completed
Diploma III Tours and Travel
Tourism Education and Training Centre (BPLP)
Bandung, West Java 1994

Certificate III in Teaching and Learning (Education Technology)
IKIP Bandung
Bandung, West Java 1994

Certificate III - Tours and Travel
North Sydney Institute of TAFE
Sydney – NSW, Australia 1999

Certificate in National Teaching and Learning
North Sydney Institute of TAFE
Sydney – NSW, Australia 1999

Certificate III Workplace Assessor
CIT – Canberra
Canberra-Australia 2001

Certificate IV Training and Assessment
Box Hill Institute of TAFE
Makassar 2006

Bachelor Degree Travel and Tourism Management
Sekolah Tinggi Pariwisata TRISAKTI Jakarta (Trisakti Institute of Tourism
Jakarta Dec 2007

Master Degree Educational Management
Makassar State University (UNM)
Makassar June 2010

SHORT COURSES, SEMINARS AND WORKSHOPS COMPLETED –
Indonesia and Overseas

English Course - TOEIC & TOEFL
School for International Training
Jakarta 1998
(4 months)

Tourism Development in Indonesia Seminary
Sheraton Media Hotel
Jakarta 1998
(one day)

Tourism Seminary Pasca Crisis
Tourism Academy of Ujung Pandang
Ujung Pandang 1999
(one day)

Dual System (PSG)
Directorate General of Education
Jakarta 1996
(3 weeks)

National Assessment
Directorate General of Education
Jakarta 1997
(1 week)

Information Technology - Web Design
Designing and Producing Multimedia for Instructional Course
SEAMEO – Voc- tech Brunei Darussalam
Malang 4 Nov – 18 Nov 2000

Guiding Training of Trainer
Dit. Ditendik Depdiknas
Jakarta 21 May – 30 May 2001

Curriculum Based Training
Ausaid – MTTP
Makassar 21 – 22 June 2001

Planning and Delivery Course for CBT
Ausaid – MTTP
Makassar 02 – 03 July 2001

Information technology for education (Multimedia Instructional Material WEB BASED)
CPSC – Manila
Bhopal –INDIA Sep 2001
(3 weeks)

Master Assessor and CBT/CBA as Framework
Ausaid – MTTP
Canberra – ACT Australia Oct – Nov 2001
(4 weeks)

English Workshop for International Industry Training Preparation
DIKDASMEN – Jakarta
Jakarta July – Oct 2002

English Debating Adjudicator Workshop
PPPGK – RISE
Jakarta July 2003

Curriculum 2004 Facilitator
Dikdasmen
Jakarta May 2004

National Curriculum based on Institutional Improvement
Dikdasmen - Bandung Sep 2006
(5 days)

Documentation of ISO 17024 – BNSP 201/202/206 –
(conducted by Ministry of Tourism and Culture of Indonesia)
Makassar 2006
(1 week)

Assessor License BNSP – Jakarta 2007
(Conducted by Ministry of Tourism and Culture of Indonesia)
Makassar - 2006
(1 week)


International Workshop of Creating and Learning Outbound,

Jakarta, March 2007


Common Curriculum Tourism of ASEAN,

Jakarta (Jul 2008)


Education National Curriculum (Oct 2009)


International Leadership Training (ILT) Labour Market
TVET and Corporate HRD
Germany
June 2010 - May 2011
(1 year)

·

·



ON THE JOB TRAINING - Indonesia and Australia
PT. Garuda Indonesia Airlines
Reservation, Ticketing, Passenger Handling & Cargo
Jakarta 1992 – 1993
(6 months)

PT. Indah Wisata Tours and Travel
Reservation, Ticketing, Tour, Umroh and Hajj, Accounting and Administration of Travel Agency
Jakarta 1998
(1 ½ months)


SMILE International Tours and Travel
Reservation, Ticketing, Tour, Accounting and Administration of Travel Agency & Travel opration
Maroubra-NSW, Australia 1998
(4 months)

Tour Hosts
MICE Organizer and Travel Operation
Sydney – NSW
Australia 1998
(5 months)


LANGUAGE and ASSESSOR QUALIFICATIONS

TOEFL – Institutional Paper Based
Score : 527
Test Date : 10 May 2007
Test Center No: STN11568A – Briton TOEFL iBT CENTER MAKASSAR

TOEIC - International
Score : 830
Test Date : 6 August 2007
Test Center : PT. ITC Jakarta (ETS Authorized)

Master Assessor in Workplace Assessor Training and Assessment - National Board for Professional Certification (BNSP)
Reg No : MET.000.0000333 2006
Issued date : 8 December 2006
Issued by : BNSP (National Board for Professional Certification) INDONESIA



MUSTAFA